Senin, 05 April 2010

ARTIKEL FIDRAYANI NOOR (BONE SULAWESI SELATAN)

BERMAIN:CARA TERBAIK MEMBELAJARKAN ANAK USIA DINI

Fidrayani

ABSTRAK
Bermain menjadi sangat penting untuk ditelaah ketika pendidikan anak usia dini dibicarakan. Bermain dengan anak usia dini semisal pemain sepak bola dengan stadionnya. Para ahli memandang bahwa melalui bermain anak dapat mnguasai banyak skil, konsep fisik dan sosial serta intelektual dasar.
Isenberg dan Quisenberry (1988) menyatakan bahwa bermain adalah prilaku dinamis, aktif, dan konstruktif yang merupakan bagian penting dan integral dari masa kanak-kanak, balita hingga masa remaja. Vgotsky (1962) meyakini bahwa permainan adalah suatu setting yang sangat bagus bagi perkembangan kognitif. Ia tertarik khususnya pada aspek-aspek simbolis dan khayalan suatu permainan, sebagaimana ketika seorang anak menirukan tongkat sebagai kuda dan mengendarai tongkat seolah-olah seekor kuda .
Jenis bermain dalam latar sekolah dapat digambarkan sebagai sesuatu yang berkelanjutan mulai dari bermain bebas hingga bermain yang dipandu. Jenis bermain tersebut secara terperinci adalah sebagai berikut : (1) bermain bebas, yaitu bermain yang memberi banyak pilihan kepada anak untuk memilih dan menggunakan materi yang diinginkan; (2) bermain dipandu, bermain yang materinya telah dipilih guru agar anak menemukan konsep-konsep tertentu; (3) bermain diarahkan yaitu bermain atas instruksi guru seperti menyanyikan lagu dan lain-lain.
Bermain memiliki karakteristik: (1) aktitifitas yang termotivasi secara personal; (2) aktif (tidak pasif); (3) sering bersifat nonliteral (berpura-pura);(4) tidak memiliki tujuan ekstrinsik (tujuan dari perintah orang); (5) tidak memiliki aturan-aturan ekstrinsik (tekanan dari luar); (6) pemain memberikan makna pada bermain.
Peran guru dalam bermain pada latar kelas sangatlah penting. Bjorkland (1978) mengurutkan peran tersebut sebagai pengamat, penjelas, model, evaluator dan perencana bermain. Bermain yang dimaksud baik bermain indoor (di dalam ruangan) ataupun outdoor (di luar ruangan). Agar dapat menjadi produktif, bermain outdoor membutuhkan perencanaan, observasi dan evaluasi yang berdasarkan pada bermain indoor. Semua anak dapat diuntungkan ketika guru memberikan materi-materi yang tepat dan mendorong mereka untuk mengeksplorasi apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka. Oleh karenanya guru harus benar memahami kondisi setiap anak yang normal atau yang berkebutuhan khusus.

Kata Kunci : Bermain, Anak Usia Dini

Korespondensi: STKIP Muhammadiyah Bone.
Jalan Abu Dg. Pasolong Bone. Email: uqshara@yahoo.com

A. PENDAHULUAN
Dunia anak adalah dunia bermain, yang merupakan fenomena sangat menarik perhatian bagi para pendidik, psikolog, dan ahli filsafat sejak zaman dahulu. Mereka tertantang untuk lebih memahami arti bermain dikaitkan dengan tingkah laku lebih sulit untuk mendefenisikannya dibandingkan kebanyakan gagasan psikologis lain anak. Walaupun konsep bermain telah digunakan sejak bertahun - tahun, tetapi Permainan (play) ialah suatu kegiatan yang menyenangkan yang dilak-sanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri. Permainan esensial bagi kesehatan anak-anak kecil. Ketika anak-anak masa kini beralih ke abad 21 dan terus mengalami tekanan di dalam hidup mereka, permainan bahkan menjadi lebih krusial. Permainan meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, mengurangi tekanan, me-ningkatkan perkembangan kognitif, me-ningkatkan daya jelajah, dan memberi tempat berteduh yang aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya. Permainan meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak akan berbicara dan berinteraksi dengan satu sama lain. Selama interaksi ini, anak-anak mempraktikkan peran-peran yang mereka akan laksanakan dalam hidup masa depannya.
Bagi anak usia dini, bermain adalah sebagai teknik pembelajaran yang akan lebih bermakna bagi perkembangan mere-ka, sebab di dalamnya ada mobilisasi po-tensi mereka secara natural sehingga apa yang mereka lakukan mengalir sesuai dengan karakternya. Tetapi tidak dalam taf-siran mereka melakukan aktifitasnya tanpa koridor.
Bermain bagi anak usia dini bagaikan pemain sepakbola dengan sta-dionnya, oleh karenanya bagi pengelola dan pembina PAUD dituntut mempunyai kom-petensi pedagogis yang berorientasi pada pengemasan program pendidikannya yang natural tidak kaku dengan tatib yang menjerat ruang gerak anak. Terutama bagi guru pandunya yang berkomunikasi langsung dengan mereka hendaknya me-miliki karakter kepengasuhan yang me-nonjol, tanpa mengesampingkan asfek-asfek akademis.

B. PEMBAHASAN
1. Kajian Pokok Teori Bermain
a. Definisi Bermain
Almy (1984) menulis bahwa membedakan karakteristik-karakteristrik bermain membuatnya penting untuk per-kembangan anak. Dalam paper yang d-isetujui oleh Association for Childhood Education International (ACEI), Isenberg dan Quisenberry (1988) menyatakan bahwa “bermain adalah prilaku dinamis, aktif dan konstruktif, yang merupakan bagian penting dan integral dari masa kanak-kanak, balita hingga masa remaja.” ACEI juga mene-gaskan bahwa guru harus mengar-tikulasikan kebutuhan untuk bermain dalam kehidupan anak-anak, terutama sebagai bagian dari kehidupan sekolah mereka.
Bagi Freud dan Erikson, permainan adalah “suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna, menolong anak menguasai kecemasan dan konflik. Karena tekanan-tekanan terlepaskan di dalam permainan, anak dapat mengatasi masalah-masalah kehidupan. Permainan memungkinkan anak melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan yang terpendam. Terapi permainan (play therapy) memungkinkan anak mengatasi frustasi dan merupakan suatu medium bagi ahli terapi untuk menganalisis konflik-konflik anak dan cara-cara mereka mengatasinya. Anak-anak dapat merasa tidak terancam dan lebih lelu-asa mengemukakan perasaan-perasaan me-reka yang sebenarnya dalam konteks per-mainan”.
Piaget (1969) melihat “Permainan sebagai suatu media yang meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak. Pada waktu yang sama, ia mengatakan bahwa perkembangan kognitif anak-anak memba-tasi cara mereka bermain. Permainan me-mungkinkan anak-anak mempraktekkan kompetensi-kompetensi dan kete-rampilan-keterampilan mereka yang diperlukan dengan cara yang santai dan menyenang-kan.”
Piaget yakin bahwa struktur-struk-tur kognitif yang perlu dilatih, dan per-mainan memberi setting yang sempurna bagi latihan ini. Misalnya anak-anak yang baru saja belajar menjumlahkan atau mengalikan mulai bermain dengan angka melalui cara-cara yang berbeda dan bila mereka berhasil menyelesaikan dengan baik mereka akan tertawa dan bangga.
Vygotsky (1962), dengan teori perkembangannya juga yakin bahwa; “permainan adalah suatu setting yang sangat bagus bagi perkembangan kognitif. Ia tertarik khususnya pada aspek-aspek simbolis dan khayalan suatu permainan, sebagaimana ketika seorang anak meniru-kan tongkat sebagai kuda dan mengendarai tongkat seolah-olah itu adalah seekor kuda (Smolucha, 1989). Bagi anak-anak kecil, situasi imajiner itu adalah nyata. Orang tua harus mendorong permainan imajiner sema-cam itu, karena meningkatkan perkem-bangan kognitif anak, khususnya pemikiran kreatif (Arman-Nolley, 1989)”.
Sedangkan Daniel Berlyne (1965), menjelaskan “permainan sebagai sesuatu yang mengasyikan karena permainan itu memuaskan dorongan penjelajahan kita. Dorongan ini meliputi keingintahuan dan hasrat akan informasi tentang sesuatu yang baru atau yang tidak biasa. Permainan ialah suatu alat bagi anak-anak untuk menjelajahi dan mencari informasi baru secara aman – sesuatu yang mungkin mereka tidak lakukan bila tidak ada suatu permainan. Permainan mendorong prilaku penjelajahan ini dengan menawarkan anak-anak ke-mungkinan-kemungkinan kebaruan (novel-ty), kompleksitas, ketidakpastian, ke-jutan, dan keanehan.”
Sedangkan bermain menurut (Gallahue, 1989 dalam Hartati Sofia, 2007) adalah suatu aktivitas yang langsung dan spontan dimana seorang anak menggunakan orang lain atau benda-benda di sekitarnya dengan senang, sukarela dan dengan imaji-natif, menggunakan perasaannya, tangan-nya atau seluruh anggota tubuhnya.”
Biasanya anak melakukan permai-nan dengan alasan untuk mengetahui dan bereksperimen tentang dunia disekitarnya dalam rangka mengembangkan hubungan dengan dunia. Biasanya anak-anak bermain karena bermain adalah aktivitas yang paling menyenangkan bagi mereka, dan mereka melakukannya bukan karena ingin dipuji atau karena diberi hadiah. Bermain merupa-kan alat utama mencapai pertumbuhannya, sebagai medium dimana anak mencobakan diri bukan saja hanya dalam fantasinya tetapi dilakukan secara nyata.


b. Kriteria Bermain
Dworetzy yang dikutip dalam Moeslihatoen (1995) dalam Hartati Sofia, (2007) mengemukakan sedikitnya ada lima kriteria dalam bermain yakni
1. Motivasi instrinsik, yaitu tingkah laku bermain dimotivasi dari dalam diri anak itu sendiri. Bukan karena adanya tun-tutan dari orang-orang disekitarnya atau karena kebutuhan akan fungsi-fungsi tubuhnya.
2. Pengaruh positif, yaitu tingkah laku yang menyenangkan untuk dilakukan
3. Bukan dikerjakan sambil lalu, karena itu tidak mengikuti urutan yang sebe-narnya melainkan lebih bersifat pura-pura.
4. Cara / tujuan, cara bermain lebih diuta-makan daripada tujuannya karena anak lebih tertarik pada tingkahlaku itu sendiri daripada keluaran yang dihasilkan
5. Kelenturan, yakni bermain itu perilaku yang lentur yang ditujukan baik dalam bentuk maupun hubungan serta berlaku dalam setiap situasi.
Jika kita menggunakan kelima kri-teria tersebut, maka dapat dikatakan bahwa bila seseorang anak menggunakan mainan boneka dengan cara yang fleksibel tanpa tujuan yang jelas dalam pikirannya, kegia-tannya pura-pura, menyenangkan bagi diri-nya, dan melakukan kegiatan hanya untuk kesenangan, maka dapat dikatakan ia sedang bermain.
Untuk itu, satu bentuk permainan atau alat permainan semestinya diciptakan dengan tujuan yang jelas sehingga per-tumbuhan dan perkembangan apa yang di-harapkan si anak akan dapat dicapai. Melalui bermain anak tidak saja dapat tumbuh secara fisik tetapi juga dapat berkembang secara psikis. Oleh sebab itu berbagai bentuk permainan harus berisi kegiatan-kegiatan yang melibatkan aspek fisik dan psikis dapat terwujud. (Johnson, 1990; Singer dan Singer, 1990; Smilansky, 1990).

c. Jenis-Jenis Bermain
Bermain dalam latar sekolah dapat digambarkan sebagai suatu kontinum mulai dari bermain bebas hingga bermain yang dipandu:
1. Bermain bebas dapat didefinisikan sebagai bermain dimana anak-anak memiliki sebanyak mungkin pilihan materi dan dimana mereka dapat me-milih bagaimana menggunakan materi tersebut.
2. Bermain dipandu didefinisikan seba-gai bermain dimana guru telah memilih materi-materi yang dapat dipilih anak-anak agar mereka dapat menemukan konsep-konsep tertentu.
3. Bermain diarahkan adalah bermain dimana guru menginstruksikan anak-anak bagaimaan untuk memenuhi tugas tertentu. Menyanyikan lagi, atau ber-main game-game lingkaran adalah con-toh-contohnya.

d. Karakteristik Bermain
Selain berpikir mengenai jenis bermain, kita dapat mendefinisikan bermain berdasarkan karakteristiknya. Ini termasuk motivasi personal, keterlibatan aktif, makna nonliteral, tujuan-tujuan tidak ekstrinsik, makna yang diberikan oleh pemain, dan tidak adanya aturan-aturan ekstrinsik.

1. Bermain adalah Aktifitas yang Termotivasi secara Personal
Agar suatu aktifitas disebut bermain, maka pemainnya harus memilih untuk berpartisipasi. Jika seorang anak memi-lih suatu aktifitas, maka ini biasanya bermain, walaupun apa yang dilaku-kannya mungkin tampak sebagai kerja. Bermain harus selalu menjadi menye-nangkan bagi partisipannya.
2. Bermain adalah Aktif
Semua pengalaman bermain mem-butuhkan beberapa keterlibatan aktif pada pemainnya. Bermain bukanlah aktifitas pasif, seperti menonton tele-visi, walaupun bermain tidak membu-tuhkan keterlibatan fisik aktif. Anak-anak yang bermain terlibat dalam ber-pikir, mengatur, merencanakan, dan berinteraksi dengan lingkungan. Jika keterlibatan itu pasif, maka aktifitas itu kemungkinan bukanlah bermain.
3. Bermain Seringkali Bersifat Nonliteral
Anak-anak ketika bermain dapat me-nangguhkan realitas, biasanya dengan kata-kata magis “Mari kita berpura-pura.” Waktu, latar dan karakter yang terlibat dalam bermain dapat dinego-siasikan dan tidak terikat pada realitas. Bermain juga tidak perlu menjadi mungkin; anak-anak mungkin berpura-pura terbang, atau menjadi monster.
4. Bermain Tidak Memiliki Tujuan Ekstrinsik
Seandainya seorang anak sedang menyusun serangkaian huruf diatas papan magnetis. Jika tugas ini telah di-berikan untuk tujuan membantu mereka mempelajari urutan abjad, maka ini bukanlah bermain. Jika anak menyusun huruf-huruf berdasarkan tujuannya sendiri, maka ini dikatakan bermain. Dalam bermain, proses, atau cara bu-kanlah hasil akhir, adalah yang paling penting. Hasil dari bermain tidaklah sepenting partisipasi didalamnya.
5. Pemain Memberikan Makna pada Bermain
Anak-anak terkadang mengeksplorasi atau menggunakan materi-materi dalam cara-cara yang dispesifikasikan oleh orang lain, tetapi ketika bermain, me-reka memberikan penafsiran mereka sendiri terhadap materi. Seorang anak mungkin menggunakan 10 balok untuk membangun model-model angka jika diarahkan untuk melakukan hal tersebut oleh seorang dewasa. Namun jika dia dibiarkan untuk menggunakan materi secara bebas, maka dia mungkin meng-gunakannya untuk membuat rumah-rumahan atau jalanan.
6. Bermain Tidak Memiliki Aturan-Aturan Ekstrinsik
Jika suatu aktifitas akan dianggap sebagai bermain, maka pemainnya harus dapat merubah aturan-aturan ak-tifitas ketika dibutuhkan. Sebagai con-toh, anak-anak yang bermain dengan balok mungkin membuat aturan-aturan mengenai ruang untuk bangunan, tetapi aturan-aturan tersebut dirundingkan dengan pemain.

e. Level-Level Bermain
Kita juga dapat mendefinisikan bermain dengan mempertimbangkan ber-bagai level dimana anak-anak terlibat di-dalamnya, termasuk bermain sosial, bermain dengan objek, dan bermain sosio-drama.
1. Bermain Sosial
Guru-guru yang mengamati anak-anak bermain akan memperhatikan beberapa level keterlibatan yang berbeda dengan anak-anak lainnya dalam episode bermain. Dalam studi klasiknya, Parten menggambarkan level-level ini sebagai soliter, onlooker, paralel, asosiatif, dan koperatif.
Bermain dengan Objek
Piaget telah menggambarkan jenis-jenis bermain dengan objek yang berbeda-beda:
 Bermain praktik, atau bermain fungsional, adalah bermain dimana anak-anak mengeksplorasi kemung-kinan-kemungkinan materi.
 Bermain simbolis, adalah bermain dimana anak-anak mungkin mulai menggunakan bermain untuk menggambarkan sesuatu yang lain.
 Game dengan aturan, anak-anak mungkin bermain berdasarkan atu-ran-aturan yang telah mereka buat sendiri atau yang telah secara umum disepakati.
 Game-game konstruksi, digam-barkan sebagai game yang berkem-bang dari bermain simbolis tetapi nantinya cenderung membentuk adaptasi murni. Level-level bermain objek tergantung pada kematangan dan pengalaman anak-anak. Ketika anak-anak matang, maka mereka men¬¬¬jadi lebih mampu untuk menggunakan materi-materi secara simbolis dan memainkan game dengan aturan-aturan yang diterima.
2. Bermain Sosiodrama
Bermain sosiodrama melibatkan seke-lompok kecil partisipan yang memain-kan peran-peran tertentu yang telah mereka pilih. Disebut oleh beberapa orang sebagai bermain fantasi, jenis bermain ini memungkinkan anak-anak untuk terlibat secara intelektual dengan banyak aspek kehidupan mereka sendiri. Bermain sosiodrama sangat penting dalam perkembangan krea-tifitas, pertumbuhan intelektual, dan skill-skill sosial. Kemampuan untuk mengambil peran orang lain dan merubah perspektif adalah skill-skill dasar yang penting untuk pembelajaran akademik.
Menurut Vygotsky, bermain berkem-bang dari bermain manipulatif anak-anak kecil yang baru belajar berjalan menjadi bermain yang berorientasi secara sosial dari anak-anak pra sekolah dan taman kanak-kanak dan akhirnya menjadi permainan.
Vygostky yakin bahwa bermain sangat-lah penting untuk perkembangan anak dalam tiga cara:
1. Bermain menciptakan zona perkem-bangan proksimal pada diri anak.
2. Bermain memfasilitasi pemisahan pikiran dari tindakan dan objek.
3. Bermain memfasilitasi pengembangan regulasi diri.

f. Tujuan-tujuan Bermain
Bermain berkontribusi pada pertumbuhan kognitif, membantu perkem-bangan sosial dan emosional, dan penting untuk perkembangan fisik. Ehart dan Leavitt (1985) menyatakan bahwa bermain memberikan anak-anak kecil kesempatan “untuk menguasai banyak skill-skill dan konsep fisik, sosial dan intelektual dasar.”



a. Perkembangan Intelektual
Baik bermain eksplorasi, yaitu bermain dimana anak tidak memiliki tujuan kecuali eksplorasi, dan bermain yang ditentukan oleh aturan, yaitu bermain dimana anak memiliki tujuan seperti menemukan solusi untuk masalah, berkon-tribusi untuk pertumbuhan kognitif. Per-tumbuhan kognitif didefinisikan sebagai suatu peningkatan dalam simpanan dasar pengetahuan anak, yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman dengan benda-benda dan manusia.
Banyak studi melaporkan hubungan positif antara pengalaman bermain dan perkembangan kemampuan kognitif anak-anak. Kemampuan kognitif termasuk meng-identifikasikan, mengklasifikasikan, mengurutkan, mengamati, mendis-krimi-nasikan, membuat prediksi, menarik kesim-pulan, membandingkan dan menentukan hubungan sebab akibat. Kemampuan intelektual ini mendasari keberhasilan anak-anak dalam semua area akademik. Bermain juga membantu anak-anak mengembangkan kemampuan mengatur dan pemecahan ma-salah. Anak-anak yang bermain secara pasti memperlihatkan berpikir kreatif dan peme-cahan masalah kreatif.

b. Perkembangan Sosial dan Emosional
Dalam pandangan Piaget, bermain mendorong anak-anak keluar dari pola-pola berpikir egosentris. Yaitu, anak-anak dalam situasi-situasi bermain didorong untuk mempertimbangkan titik-titik pan-dang teman bermain mereka dan oleh kare-na itu menjadi kurang egosentris. Anak-anak belajar bekerjasama untuk mencapai beberapa tujuan kelompok selama bermain. Mereka juga memiliki kesempatan selama bermain untuk belajar menunda kepuasan mereka sendiri selama beberapa menit.
Stegelin (2005) meringkas keun-tungan bermain dalam perkembangan sosial: “Kompetensi sosial yang secara luas berkembang pada usia enam tahun, dipelihara dengan paling baik pada anak-anak kecil melalui sosiodrama dan bermain pura-pura dengan teman-teman sebayanya, interaksi sosial dalam latar-latar kelompok kecil, dan asimilasi keterlibatan rutin dan resiprok dengan teman-teman sebaya dan orang dewasa yang peduli.”

c. Perkembangan Fisik
Anak-anak mencapai kontrol gerak halus dan besar melalui bermain. Mereka dapat melatih semua skill gerak besar seperti berlari, melompat, dan meloncat sementara bermain. Anak-anak ketika bermain dapat didorong untuk mengangkat, mengangkut dan berjalan atau bergerak sebagai respon terhadap ritme. Mereka juga dapat melatih skill-skill gerak halus ketika mereka menyatukan puzzle, atau me-malu paku kedalam kayu. Tidak hanya anak-anak kecil yang membutuhkan bermain aktif; anak-anak yang lebih besar-pun harus berpartisipasi dalam jenis ber-main ini juga. Mereka dapat melempar, menangkap, menendang dan lain-lain.

g. Perkembangan Perilaku-Perilaku
Bermain
Perilaku bermain anak-anak berkembang dari masa kanak-kanak awal hingga masa kanak-kanak menengah. Setiap periode dicirikan oleh jenis-jenis dan tujuan bermain yang berbeda.
1. Masa Kanak-Kanak Awal
Bermain pada periode ini adalah sensorimotor: mereka mengeksplorasi benda-benda dan orang-orang dan menyelidiki efek-efek tindakan mereka terhadap benda-benda dan orang-orang tersebut. Kira-kira pada akhir tahun pertama, anak-anak mulai memper-lihatkan prilaku-prilaku bermain seperti berpura-pura makan atau tidur. Mereka juga dapat memulai interaksi bermain dengan orang lain seperti bermain sembunyi-sembunyian.
2. Pra Sekolah
Anak-anak pra sekolah menghabiskan banyak waktu bermain mereka dalam bermain eksplorasi atau praktek. Mere-ka lebih memfokuskan pada proses, daripada produk bermain mereka. Sebagai contoh, mereka mungkin men-campur warna-warna cat, tetapi mereka lebih tertarik pada apa yang terjadi dengan bahan-bahan tersebut, dan bukan pada hasil lukisannya. Anak-anak pra sekolah seringkali terlibat dalam bermain sosiodrama atau fantasi, tetapi biasanya mereka mem-fokuskan pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Mereka juga biasanya tertarik pada game-game dengan aturan.
3. Kelas-Kelas Sekolah Dasar Awal
Anak taman kanak-kanak dan sekolah dasar kelas satu terlibat dalam bermain sosiodrama yang melibatkan beberapa anak dalam episode bermain, dan mereka bermain tanpa membutuhkan objek-objek yang mereka gunakan men-jadi begitu nyata. Sebagai contoh, sebuah balok, dapat menjadi apapun yang mereka inginkan. Pada usia ini, bermain fantasi kemungkinan kurang memfokuskan pada peran-peran rumah dan lebih memfokuskan pada peran-peran yang diamati dalam masyarakat, seperti “petugas polisi”, atau cerita-cerita yang didengar atau dibacakan. Bermain praktek dan waktu yang dihabiskan untuk mengeksplorasi benda-benda baru berkurang selama kelas-kelas sekolah dasar awal hingga hanya sekitar 15 persen bermain dapat dinamakan sebagai praktek. Kebanya-kan anak-anak kelas sekolah dasar memainkan bermain konstruksif, yaitu membangun atau membuat sesuatu. Game-game dengan aturan menjadi lebih penting dalam bemain siswa-siswa kelas dasar.
4. Masa Kanak-Kanak Pertengahan
Lebih sedikit bermain konstruksif yang diamati pada anak-anak usia ini karena mereka lebih sedikit memiliki akses untuk materi-materi konstruksi dalam kelas. Bermain praktek menjadi lebih kognitif ketika anak-anak belajar meng-gunakan skill-skill literasi mereka untuk membuat cerita atau mempelajari infor-masi. Bermain sosiodrama cenderung menghilang dan digantikan dengan drama kreatif, seperti memperagakan cerita atau adegan. Anak-anak usia ini mungkin memperagakan adegan-adegan historis atau menciptakan drama untuk membantu mereka memahami fakta-fakta ilmiah. Game-game dengan atur-an mendominasi bermain anak-anak usia tujuh dan delapan tahun. Game-game papan, game-game komputer, dan atletik, seperti sepak bola dan baseball, menjadi bagian-bagian penting dari pengalaman bermain mereka. Anak-anak usia ini dapat menggunakan atu-ran-aturan game secara lebih fleksibel dan dapat mengintegrasikan penge-tahuan kognitif mereka dan kemampuan sosial secara lebih mudah.

h. Sekolah sebagai Tempat Bermain
Anak bermain pada dua arena dan situasi yaitu di rumah dengan segala kegiatannya dan di sekolah. Bermain di sekolah biasanya berbeda dari bermain di rumah dalam beberapa hal. Beberapa perbedaan antara keduanya diringkas pada Tabel 1. Memikirkan bermain di rumah dan di sekolah sepanjang dimensi-dimensi ini akan membantu guru menjelaskan kepada orangtua mengapa bermain di sekolah itu penting dan bukanlah duplikasi dari bermain di rumah.
Tabel 1. Perbedaan-Perbedaan antara Bermain di Rumah dan di Sekolah
RUMAH SEKOLAH
Teman-teman sebaya -Usia
campuran
-Dipilih
sendiri -Usia sebaya
-Pemilihan dalam kelompok
Ukuran kelompok Sendiri atau kelompok kecil -Kelompok besar
Materi dan peralatan Terbatas -Pemilihan lebih besar
-Kurang dibatasi
Bimbingan dan pengawasan -Seringkali difokus-kan pada keselamatan -Memandu pengembangan konsep-konsep tertentu
-Mencontoh-kan prilaku-prilaku bermain
-Bertanya tentang belajar
Interaksi orang dewasa-anak - Membeli-kan materi-materi
- Mende-ngarkan permin-taan anak
-Memaha-mi isu-isu keselama-tan -Memfasili-tasi bermain
-Berinteraksi dengan anak-anak perorangan
-Menentukan tujuan anak
Komitmen waktu -Harus sesuai dengan skedul keluarga
-Periode lebih pendek -Waktu yang dijadwal secara teratur
-Periode lebih lama
Perencana-an -Dipandu oleh anggaran keluarga
“Go play” adalah petunjuk umum -Pilihan-pilihan materi, peralatan
Evaluasi pengalaman
Ruang -Biasanya ruang tidur, ruang keluarga, atau ruang tamu -Ruang-ruang lebih luas untuk memanjat, membangun balok, dll

Guru akan memilih pengalaman-pengalaman bermain yang sesuai dengan tujuan program-program mereka.
a. Peran-Peran Guru
Peran-peran guru dalam bermain dalam latar kelas sangatlah penting. Guru harus menjadi pengamat, penjelas, model, evaluator dan perencana bermain (Bjorkland, 1978).
1. Pengamat
Ketika mengamati, guru harus me-ngawasi interaksi anak-anak dengan anak lainnya dan dengan benda-benda. Dia harus mengamati lamanya waktu anak-anak dapat mempertahankan episode bermain, dan harus mencari anak-anak yang memiliki kesulitan bermain atau bergabung dengan kelompok-kelompok bermain. Penga-matan ini harus digunakan nantinya dalam merencanakan pengalaman-pe-ngalaman bermain tambahan, membuat keputusan-keputusan mengenai situasi bermain, dan membuat asesmen ber-main terhadap anak perorangan. Phyfe-Perkins (1980) menyimpulkan bahwa jika latar akan memberikan dukungan untuk aktifitas-aktifitas yang sesuai dengan perkembangan, maka guru harus terlibat dalam observasi yang sistematis terhadap anak-anak yang sedang bermain.
2. Penjelas
Aspek lainnya dari peran guru adalah penjelas. Jika anak-anak sedang me-mainkan “menjadi penata rambut” maka guru mungkin membantu mereka me-ngumpulkan item-item yang dapat digunakan untuk menggambarkan ben-da-benda yang ditemukan di tempat penata rambut. Guru mungkin mem-berikan ilustrasi majalah yang akan membantu anak-anak membuat salon kecantikan. Jika anak lain terlibat dalam mempelajari serangga, maka guru mungkin menyediakan kaset video tentang serangga sehingga anak dapat meciptakan kembali gerakan serangga dalam permainan mereka.
3. Pemberi contoh
Guru yang menghargai bermain seringkali menjadi pemberi contoh prilaku-perilaku yang tepat dalam situasi-situasi bermain. Guru mungkin memilih untuk bergabung dengan permainan drama untuk dapat men-contohkan prilaku-prilaku yang berguna ketika memasuki kelompok bermain dan respon-respon yang berguna untuk membantu berlanjutnya bermain.

4. Evaluator
Sebagai evaluator bermain, guru harus menjadi pengamat yang cermat dan ahli diagnosa untuk menentukan bagaimana peristiwa-peristiwa bermain yang ber-beda memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak-anak perorangan dan apakah pem-belajaran yang sedang terjadi ketika anak-anak berpartisipasi dalam ber-main. Evaluasi berarti bahwa materi, lingkungan, dan aktifitas harus diper-timbangkan secara cermat berdasarkan tujuan kurikulum, dan perubahan-perubahan harus dibuat ketika dibutuhkan.
5. Perencana
Akhirnya, guru harus berfungsi sebagai perencana. Perencanaan melibatkan semua pembelajaran yang dihasilkan dari mengamati, menjelaskan, dan mengevaluasi. Guru harus merencana-kan pengalaman-pengalaman baru yang akan mendorong atau memperluas ke-tertarikan anak-anak. Ketika mela-kukan perencanaan yang berkontribusi pada perkembangan, guru harus mem-pertimbangkan pedoman-pedoman beri-kut ini:
1. Yakinkan anak-anak memiliki cukup waktu untuk bermain.
2. Bantulah anak-anak merencanakan bermain mereka.
3. Pantaulah kemajuan bermain.
4. Pilihlah mainan-mainan yang tepat.
5. Berikan tema-tema yang dapat diperluas dari satu hari ke hari berikutnya.
6. Latihlah orang-orang yang mem-butuhkan bantuan.
7. Contohkan bagaimana tema-tema dapat saling berkaitan.
8. Contohkan cara-cara yang tepat untuk menyelesailkan perselisihan.

b. Manfaat Bermain di Sekolah
Ketika bermain diterima sebagai alat untuk memenuhi kurikulum, anak-anak dapat mempelajari skill-skill pengaturan, mengembangkan skill-skill bahasa oral, dan belajar mengambil resiko dalam meme-cahkan masalah. Bermain yang dapat membantu anak-anak dalam perkembangan mereka dapat dicapai di sekolah jika guru memberikan waktu, ruang, materi dan sangsi untuk aktifitas-aktifitas bermain.
Ketika anak-anak mendapatkan pengalaman dan kematangan, bermain dalam kelas harus mencerminkan peru-bahan-perubahan ini. Anak-anak dengan usia yang berbeda dan level-level perkem-bangan yang berbeda menggunakan materi-materi dalam cara berbeda, sehingga guru harus waspada dalam menyediakan materi-materi yang akan menantang anak-anak untuk berkembang lebih banyak dalam bermain.
Guru berkewajiban untuk menjelas-kan kepada orangtua dan admi-nistrator mengenai manfaat-manfaat waktu yang dihabiskan anak-anak untuk bermain sela-ma di sekolah. Guru harus bertanggung jawab akan pembelajaran anak. Bagian dari tanggung jawab ini adalah dapat mem-berikan informasi spesifik mengenai anak-anak perorangan dan pengalaman-penga-laman bermain mereka.
Salah satu bentuk data yang akan dibagi adalah catatan anekdot. Dengan jenis pencatatan ini, guru atau orang dewasa lainnya mencatat prilaku dan verbalisasi anak untuk periode waktu yang singkat. Penilaian tentang maksud atau motivasi anak harus dengan jelas dinamai dan dibedkan dari deskripsi prilaku terbuka anak. Pada akhir hari, catatan-catatan ter-sebut diletakan dalam file anak. Teknik lainnya untuk mencatat bermain adalah mencatat dimana anak-anak berada dalam kelas pada interval waktu tertentu. Catatan waktu-aktifitas ini akan menjelaskan pola-pola pilihan anak dan ketika digabungkan dengan catatan anekdot, akan berguna dalam merencanakan aktifitas-aktifitas lain-nya. Teknik ketiga adalah membuat bebe-rapa checklist. Ketika guru mengamati anak terlibat dalam perilaku tertentu, dia mencatatnya pada catatan. Nama anak dituliskan di samping bentuk. Catatan tersebut berguna karena memberikan fleksi-bilitas dalam memilih apa yang dicari dalam observasi dan membuat mudah dan cepat untuk mencatat informasi. Akhirnya, guru dapat menyimpan sampel-sampel produk dari beberapa aktifitas bermain.
c. Memilih Materi untuk Bermain
Guru memiliki banyak pilihan ketika memilih materi-materi untuk bermain. Materi-materi open-ended (terbu-ka) yaitu yang memungkinkan banyak hasil dan penggunaan unik dalam setiap pertemuan, adalah yang paling berguna. Materi-materi tersebut mungkin berupa materi yang tidak memiliki struktur seperti pasir dan air, atau materi yang memiliki struktur seperti berbagai bentuk balok. Balok, pasir atau air tidak membatasi hasil-hasil bermain anak-anak. Oleh karena itu bersifat kondusif untuk berpikir kreatif dan pemecahan masalah pada anak-anak.
Materi-materi yang memungkinkan anak-anak membuat pilihan bermain dan memungkinkan banyak hasil penting untuk lingkungan bermain yang paling baik. Banyak materi dapat dianggap terbuka jika memungkinkan anak-anak untuk meng-gunakannya dalam cara-cara berbeda. Se-bagai contoh, guru dapat menyediakan ko-tak, bola, atau roller yang akan membantu anak-anak mengembangkan konsep-konsep dalam ilmu fisika.
d. Bermain sebagai Strategi Mengajar
Bermain adalah salah satu strategi mengajar yang tersedia bagi para guru ketika mereka merencanakan pembelajaran anak-anak. Contoh-contoh berikut ini mengilustrasikan tujuan yang dapat dengan cepat dicapai melalui bermain:
 Untuk mendorong anak-anak belajar tentang pakaian yang tepat untuk cuaca.
 Untuk mendorong anak-anak belajar bagaimana membuat warna-warna sekunder.
Menggunakan pengalaman bermain sebagai strategi mengajar mengharuskan guru untuk mengamati bagaimana anak-anak menggunakan materi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk memandu berpikir dan refleksi anak-anak.
Memilih bermain yang dipandu sebagai strategi mengajar tidak menyiratkan bahwa bermain itu diberikan; namun berarti bahwa pemikiran yang cermat ditekankan pada pemilihan materi-materi dan inter-vensi dalam bermain anak.
Cooper dan Dever (2001) menemukan bahwa bermain sosiodrama adalah alat yang unggul untuk mengin-tegrasikan kurikulum. Melalui kerja mere-ka, anak-anak mengembangkan dan menik-mati tema yang dipilih. Oleh karena itu, guru harus cermat ketika mengintervensi bermain anak-anak dan hindarilah mencoba memaksakan agenda mereka pada anak-anak.

e. Bermain dan Pembelajaran Akademik
Terkadang para pengamat anak-anak kecil berpikir bahwa anak-anak tidak akan mempelajari skill-skill akademik jika mereka menghabiskan waktu mereka untuk bermain. Kenyataannya, bermain berkon-tribusi pada pengembangan kemampuan akademik. Anak-anak yang sedang menyu-sun benda-bedan berdasarkan pan-jang atau ukurannya dalam situasi bermain bebas, mempelajari ritme dalam bermain yang diarahkan, atau mengeksplorasi ritme dalam bermain yang dipandu semuanya terlibat dalam aktifitas-aktifitas yang berkontribusi pada kemampuan membaca.
Membaca adalah proses komplek yang melibatkan koordinasi mata, diskri-minasi visual dan audio, dan kemampuan kognitif untuk bekerja dengan bagian-bagian dari keseluruhan. Bermain adalah alat yang penting untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut. Collier (1983) menemukan bahwa bermain mem-bantu pengembangan skill-skill gambaran dan pembentukan fondasi-fondasi simbolis yang penting untuk membaca. Anak-anak usia sekolah dasar yang terlibat dalam kerja proyek dapat dilibatkan dalam pengalaman bermain yang akan membantu mereka mengonsolidasikan pembelajaran mereka dan mengeksplorasi kemungkinan-kemung-kinan dalam topik tertentu.
Dalam merencanakan pengalaman-pengalaman bermain yang meningkatkan kurikulum, guru harus cermat untuk menye-diakan permainan. Salah satu kriteria untuk menentukan apakah aktifitas itu bermain adalah elemen pilihan. Jika pilihan itu tidak ada, maka berdasarkan definisi aktifi-tas itu bukanlah bermain.
f. Bermain Outdoor
Bermain outdoor memberikan banyak kesempatan kepada anak-anak untuk memecahkan masalah-masalah inte-lektual, seperti bagaimana membuat air mengalir dalam taman, dan juga untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan emosional. Anak-anak yang bermain di luar ruangan (outdoor) seringkali memiliki lebih banyak kebebasan dibanding bermain di dalam ruangan (indoor). Banyak guru telah mengamati bahwa kepemimpinan dalam aktifitas bermain lebih dapat diamati di luar ruangan dibanding dalam bermain kelompok kecil didalam kelas.
Untuk dapat menjadi produktif, bermain outdoor membutuhkan perencana-an, observasi, dan evaluasi yang berdasar-kan pada bermain indoor. Bermain outdoor dapat menawarkan keuntungan-keuntungan yang tidak tersedia dalam kelas, seperti aktifitas-aktifitas otot besar dan lebih sedi-kit kontrol guru terhadap aktifitas berlari, melompat, berguling dan memanjat. Aktifitas-aktifitas ini dapat mendorong out-door dimana anak-anak akan menjadi aman dan anak-anak lain tidak akan berada dalam bahaya, sepertihalnya pada indoor. Theemes (1999) menggambarkan manfaat ber¬¬¬main outdoor sebagai “kontak dengan alam, kesempatan-kesempatan untuk per-mainan sosial, dan kebebasan bergerak ser-ta permainan fisik aktif.”
g. Bermain Bagi Anak-Anak dengan Kebutuhan Khusus
Untuk merencanakan pengalaman bermain bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, guru harus berpikir tentang level-level perkembangan anak-anak perorangan dan membuat bermain tersedia yang sesuai dengan level-level tersebut.
Anak-anak yang sedang berkem-bang belajar bermain dalam cara-cara koperatif yang dimulai pada usia sekitar tiga tahun. Anak-anak yang tidak berkem-bang mungkin membutuhkan lebih banyak waktu untuk bermain dalam permainan soliter kemudian dibantu untuk berpindah kedalam bermain koperatif dengan seorang anak. Murata dan Maeda (2002) menya-rankan bahwa guru harus memikirkan ten-tang penggunaan bermain terstruktur bagi anak-anak yang memiliki keterlambatan perkembangan sebagai cara untuk mem-bantu mereka memperoleh skill-skill yang berguna. Rekomendasi-rekomendasi mere-ka termasuk:
 Aturlah lingkungan untuk melibatkan anak-anak pra sekolah kedalam ber-bagai aktifitas gerak.
 Mungkinkan anak-anak pra sekolah untuk mengeksplorasi dan terlibat dalam aktifitas fisik melalui discovery yang dipandu.
 Rubahlah lingkungan untuk meningkatkan generalisasi.
Semua anak dapat diuntungkan ketika guru memberikan materi-materi yang tepat dan mendorong mereka untuk menge-ksplorasi apa yang dapat mereka lakukan dengan tubuh mereka. Sepertihalnya de-ngan anak-anak lainnya, guru perlu memikirkan anak-anak yang memiliki ke-butuhan khusus. Gbr.5.3 adalah daftar adaptasi-adaptasi yang mungkin dibutuhkan untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus dalam area bermain outdoor.
2. Kajian Teori Bermain dalam Konteks Indonesia
Pendidikan anak usia dini, khu-susnya di Taman Kanak-kanak (TK), telah di selenggarakan sejak lama, yaitu sejak awal kemerdekaan Indonesia. Di sekolah ini, anak usia 4-5 atau 6 tahun mendapat tempat untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam berbagai bentuk kegiatan belajar dalam bermain. Bentuk kegiatan ini diwujudkan dalam berbagai ekspresi diri secara kreatif.
Sejalan dengan kemajuan bangsa Indonesia dan kesadarannya terhadap pen-didikan, maka perkembangan sekolah ta-man kanak-kanak di Indonesia maju dengan pesat, sehingga hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki lembaga pendidikan taman kanak-kanak. Lembaga pendidikan ini tidak saja di kelola oleh pemerintah, akan tetapi juga dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat.
Seiring dengan peningkatan pema-haman orang tua terhadap pentingnya pen-didikan anak sejak usia dini, maka pada saat ini, pendidikan bagi anak usia dini ter-sebut semakin luas sehingga para orang tua telah memasukkan anak balita mereka ke dalam kelompok bermain. Kelompok ber-main adalah pelayanan pendidikan bagi anak usia dini, yaitu usia 3-4 tahun.
Walaupun berbagai lembaga pendi-dikan usia dini diselenggarakan oleh lembaga-lembaga penyelenggara pendi-dikan usia dini, baik milik pemerintah maupun milik masyarakat, namun pelak-sanaan pendidikan anak usia dini telah di lakukan oleh orang tua mereka sendiri sejak anak tersebut dilahirkan, bahkan sejak anak masih di dalam kandungan. Dengan demi-kian, pendidikan anak usia dini telah dilakukan di dalam keluarga dan diperluas ke lembaga-lembaga penyelenggara pendi-dikan anak usia dini di luar keluarga seperti taman kanak-kanak dan kelompok bermain.
Dari pembahasan materi pokok di atas sangat erat kaitannya dengan pelak-sanaan pendidikan di Indonesia. Pelak-sanaan pendidikan di Indonesia juga telah menerapkan pendidikan pada anak usia dini melalui bermain. Bermain adalah cara belajar yang terbaik. Bermain merupakan suatu fenomena yang sangat menarik per-hatian para pendidik, psikolog ahli filsafat dan banyak orang lagi sejak beberapa dekade yang lalu. Mereka ter-tantang untuk lebih memahami arti bermain dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Bermain benar-benar merupakan pengertian yang sulit dipahami karena muncul dalam bera-neka ragam bentuk. Bermain itu sendiri bu-kan hanya tampak pada tingkah laku anak tetapi pada usia dewasa bahkan bukan hanya pada manusia (Spodek, 1991).
Piaget (1976: 220) mengatakan bahwa kegiatan bermain merupakan latihan untuk mengkonsolidasikan berbagai penge-tahuan dan keterampilan kognitif yang baru di kuasai, sehingga dapat berfungsi secara efektif. Melalui kegiatabn bermain, semua proses mental yang baru dikuasai dapat diinternalisasikan oleh anak.”
Selanjutnya, Vigotsky (1976:222), mengemukakan bahwa kegiatan bermain secara langsung dapat berperan dalam ber-bagai usaha pengembangan kemampuan kognitif anak.
Semua pendapat para ahli tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Liberman (1977), bermain aktif yang terjadi di taman kanak-kanan secara signifikan berhubungan dengan tingginya skor dalam divergent thingking (kemam-puan untuk berpikir berbeda) anak tersebut.
Bruner (1972), mengemukakan bahwa bermain mendorong anak mela-kukan berbagai kegiatan dalam meme-cahkan berbagai masalah melalui pene-muan. Dengan demikian, bermain memper-kuat kemampuan dan keterampilan anak dalam pemecahan masalah (Silvia, Bruner dan Genova, 1972).”
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kegiatan bermain merupakan wahana bagi anak dalam melakukan berbagai ekspe-rimen tentang berbagai konsep yang dike-tahui dan yang belum diketahuinya.
Mengapa anak harus bermain? Menurut Karl Buhler, Scenk dan Ziger pengertian bermain adalah kegiatan yang menimbulkan “kenikmatan”. Dan kenikma-tan itu menjadi rangsangan bagi perilaku lainnya, yaitu ketika anak mampu berbicara dan berfantasi. Fungsi kenikmatan meluas menjadi Scheffens Treud (kenikmatan berekreasi). Kemudian konsep ini di kembangkan oleh Charlotte Buhler yang menganggap bermain sebagai pemicu krea-tivitas, menurutnya anak yang banyak ber-main akan meningkatkan kreativitasnya. Lebih lanjut, Sigmund Freud berpendapat bahwa dengan bermain si anak yakin dapat menumpahkan seluruh perasaannya, bahkan mampu mengatur, menguasai berfikir, dan berencana. Selanjutnya menurut Erick Erikson bahwa bermain dapat berfungsi memelihara ego anak-anak. Begitu pula pendapat Jean Piaget yang menyatakan bahwa bermain menunjukkan 2 realita anak yaitu:
a. Adaptasi terhadap apa yang sudah mereka ketahui
b. Respon mereka dalam hal-hal baru
Jadi bagi anak-anak bermain adalah sarana untuk mengubah kekuatan potensial di dalam diri menjadi berbagai kemampuan kecakapan dan sarana menyalurkan kelebi-han energi dan relaksasi.
Beberapa karakteristik kegiatan bermain mencakup;
 Bermain dilakukan karena kesukarelaan bukan paksaan
 Bermain merupakan kegiatan untuk dinikmati
 Tanapa iming-iming apapun, kegiatan bermain itu sendiri sudah menyenangkan
 Dalam bermain, aktivitas lebih penting dari pada tujuan
 Bermain menuntut partisipasi aktif secara fisik/mental
 Bermain itu bebas
 Dalam bermain individu bertingkah laku secara spontan
 Makna dan kesenangan bermain sepenuhnya ditentukan si pelaku.
Sehingga kegiatan bermain adalah sangat penting untuk kesehatan dan kesejahteraan anak sebagaimana layaknya kita butuh makan-minum, bernafas dan tidur. Kegiatan bermain tidak hanya berperan di dalam perkembangan intelektual, bahasa, sosial, dan emosionalnya. Oleh karena itulah pengaruh bermain sangat tinggi bagi pem-bentukan kepribadian dan karakter anak.
Peran guru dalam kegiatan beermain sangat penting, guru harus berperan sebagai pengamat, sebagai model, melakukan elaborasi, dan evaluasi serta melakukan perencanaan (Bjorkland, 1978 dalam Padmonodewo, 1995). Selanjutnya menurut Padmonodewo bahwa peran guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengamat guru harus melakukan observasi bagaimana interaksi yang terjadi antara anak dan antara anak dengan alat-alat permainan. Guru harus mengamati berapa lama anak bermain dan apakah anak mendapatkan kesulitan dalam bermain dan bergaul dengan temannya.
Guru adalah model yang baik bagi anak, oleh karena itu guru yang menghargai bermain akan selalu menyediakan diri untuk menjadi model bagi anak-anak dalam melakukan kegiatan bermain. Guru selalu mencari kesempatan untuk ikut terlibat dalam kegiatan bermain anak, saat bermain balok, guru ikut menempatkan satu atau dua balok dalam susunan yang sedang dibuat oleh anak, dan guru harus mencari taktik seakan-akan ia sulit menempatkan balok tersebut pada posisi yang tinggi, namun tunjukkan pada anak bahwa ia tidak putus asa dan mencoba-mencoba sampai akhirnya guru seakan akan berhasil menempatkan sebuah balok pada posisi yang lebih tinggi. Saat anak bermain guru harus selalu mengawasi anak.

C. PENUTUP
Bermain dapat didefinisikan dengan melihat karakteristik, jenis dan levelnya. Untuk dapat diklasifikasikan sebagai ber-main, aktifitas-aktifitas harus secara per-sonal termotivasi, aktif, biasanya nonliteral, tidak berhubungan dengan tujuan ekstrin-sik, dan bermakna dalam pikiran para pemain. Bermain seringkali digambarkan berkisar dari mulai bermain bebas, hingga bermain yang dipandu. Akhirnya, ada be-berapa level bermain. Bermain dengan orang-orang adalah bermain sosial dan ber-kisar dari bermain soliter hingga bermain dengan kelompok. Bermain dengan benda-benda dapat digambarkan sebagai bermain praktek, bermain simbolis, game-game dengan aturan, dan game-game kontruksi. Vygotsky yakin bahwa bermain membantu guru menentukan setiap zona perkem-bangan proksimal anak. Terlebih, bermain membantu anak-anak memisahkan benda-benda dari pikiran dan belajar mengatur prilaku mereka sendiri.
Menyangkut tujuan, bermain memi-liki nilai dalam perkembangan intelektual, perkembangan sosial dan emosional, dan perkembangan fisik. Anak-anak belajar banyak skill dan mengembangkan banyak konsep sementara bermain. Mereka juga belajar bagaimana mengambil giliran, menunggu kepuasan dari keinginan mereka sendiri, dan mengasah skill-skill mereka dalam bergerak dan mengontrol tubuh mereka.
Para pengamat bermain anak-anak telah mencatat trend-trend perkembangan dalam perilaku bermain. Anak-anak kecil memperlihatkan banyak permainan eksplo-rasi, anak-anak prasekolah terlibat dalam permainan sosiodrama dan bermain kons-truktif, dan anak-anak usia sekolah dasar kemungkinan akan terlibat dalam game-game dengan aturan.
Guru harus membimbing bermain dalam latar sekolah dengan mengamati, menjelaskan, mencontohkan, mengevaluasi dan merencanakan pengalaman-pengala-man bermain. Tanggung jawab ini meng-haruskan skill dalam mengetahui kapan membuat saran-saran dan kapan mem-biarkan anak-anak untuk memecahkan masalah mereka sendiri dan berpikir ten-tang tema-tema bermain mereka. Bermain bermanfaat bagi anak-anak untuk mempe-lajari berbagai skill dan konsep. Guru membutuhkan latihan dalam mengkomuni-kasikan nilai bermain kepada orangtua dan administrator.
Pengalaman-pengalaman bermain outdoor yang direncanakan dengan cermat dapat memberikan banyak keuntungan yang sama dengan bermain indoor dan seringkali memungkinkan anak-anak untuk lebih bebas dibanding bermain indoor.
Merencanakan pengalaman bermain untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus mungkin termasuk mengadaptasikan ling-kungan fisik tertentu; memberikan instruksi khusus dalam skill-skill bermain mungkin juga penting. Anak-anak yang perkem-bangannya terlambat mungkin memperli-hatkan prilaku bermain yang tipikal dari kebanyakan anak-anak yang lebih kecil.
Bermain adalah alat yang unggul untuk membantu anak-anak memahami budaya mereka sendiri dan budaya orang lain. Materi-materi bermain dapat termasuk materi-materi dari budaya atau kelompok etnis yang digambarkan dalam kelas, dan game-game yang relevan secara budaya mungkin membantu anak-anak memahami kesamaan antara orang-orang dan budaya.

REFERENSI
Brewer Ann Jo, (2007). Introduction to Early Children Education Preschool
trough Prymary Grades. Pearson :Allin And Bacon.
Fleer Marilyn & Docket Sue, (1999). Play and Pedagogy in Early Childhood
Bending the Rules. Harcourt : Sidney. Fort Worth. London. San Diago. Toronto.
Hartati Sofia, (2007), How To Be a Good Teacher and To Be a Good Mother.
Jakarta Selatan : Enn Media.
Jamaris Martini, (2006). Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman
Kanak-kanak. Jakarta: PT Grasindo.
Mansur, (2005), Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
May Lwin, Adam Khoo, Kenneth Lyen, Caroline, (2008). How to Multiply Your Child’s Intelligence : Cara Mengembangkan Berbagai Kompenen Kecerdasan.
Mustafa Baharudin, (2008). Dari Literasi Dini Ke Literasi Teknologi. Jakarta:
PT. Cahaya Insan Sejahtera.
M, Taqiyuddin, (2008). Pendidikan Untuk Semua Dasar dan Falsafah Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Mulia Press.

Patmonodewo Soemiarti, (2003). Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Proyek Review Kebijakan Anak Usia Dini UNESCO/OECD, (2005, Januari).
Laporan Review Kebijakan Pendidikan dan Perawatan Anak Usia Dini di Indonesia. Diprosentasikan oleh: Seksi PAUD dan Pendidikan Inklusif
Divisi Pendidikan Dasar, Sektor Pendidikan UNESCO, Paris. The Section
for Early Childhood and Inklusive Education ED/BA/EIE. UNESCO,
7 Place de Fontenoy, 75352 Paris 07 SP, FRANCE: http://portal.unesco.org/education/en/ev.phpURI_ID=2905&URL_DO=DO_TOPIC&URL_SECTION=465. html Dicetak pada kegiatan Workshop UNESCO Jakarta, Jl. Galuh (II) No.5, Kebayoran Baru Jakarta 12110, Tel: (62-21) 7399818 Fax: (62-21) 72796489 www.unesco.or.id
R Moeslichatoen, (2004). Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Rineka Cipta.
Solehuddin M, (2000). Konsep Dasar Pendidikan Prasekolah. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Suryadi, (2007), Cara Efektif Memahami Perilaku Anak Usia Dini. Jakarta Indonesia : EDSA Mahkota.

Minggu, 04 April 2010

FOTO-FOTO FAI UMSU-2010






























foto-foto: Pimpinan Fakultas, Program Studi dan Staf Administrasi FAI UMSU

SEMINAR FAI UMSU KERJASAMA PW. IGRA SUMUT



SEMINAR PENDIDIKAN RA DI SERDANG BEDAGAI

Seminar Pendidikan RA dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 03 Maret 2010 diselenggarakan atas kerjasama FAI UMSU dengan PW IGRA Sumut yang kali ini menjadi tuan rumah PD IGRA Serdang Bedagai. Seminar dengan Tema Manajemen RA dan Pengembangan Pembelajaran di RA tersebut dihadiri 250 peserta dari berbagai kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai.
Pembicara dalam Seminar tersebut Akrim, S.PdI, M.Pd (Dekan FAI UMSU) dan Dra. Hj. Masnun Zaini Jaya, Nst (PW. IGRA Sumut).

PIMPINAN FAKULTAS DAN PROGRAM STUDI


foto Dekan, Wakil Dekan I dan Wakil Dekan III

INFORMASI JURNAL FAI UMSU

Jurnal FAI UMSU Medan yang diberi nama "Intqad Jurnal Agama dan Pendidikan Islam" akan volume 3 edisi 2 desember tahun 2009 akan diterbitkan pada bulan April 2010, kepada para blogger yang kiranya bersedia meringankan tangan untuk membuat tulisan yang berkaitan dengan agama dan pendidikan Islam sangat kami harapkan, kami tunggu segera dikirim ke email fai.umsu@yahoo.co.id
atas kesediaannya kami ucapkan terima kasih. Peyunting

Sabtu, 03 April 2010

PROGRAM STUDI FAKULTAS AGAMA ISLAM-UMSU

1. Program Studi Perbankan Syariah (S1)
2. Program Studi Bisnis dan Manajemen Syariah (S1)
3. Program Studi Pendidikan Guru Raudlatul Athfal (S1)
4. Program Studi Pendidikan Agama Islam (S1)
5. Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam (S1)

KAMPUS UMSU